Jejak Ritel Kecil Dipagari Dominasi Pemain Besar

JAKARTA – Kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta periode 2017–2022 melahirkan sebuah konsep gagasan One Kecamatan One Center of Entrepreneurship (OK OCE) yang bertujuan merangsang tumbuhnya geliat ekonomi masyarakat Jakarta. Si pengusung gagasan, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, meyakinkan OK OCE akan menjadi salah satu motor penggerak perekonomian warga.

Pilkada DKI Jakarta pada akhirnya melahirkan pemimpin baru yang diharapkan mampu menghadirkan kesejahteraan bagi warganya, yakni pasangan Anies-Sandi. Tak menunggu lama, janji kampanye pun direalisasikan. Salah satunya dengan mendirikan gerai OK OCE Mart yang tak lain bagian dari konsep OK OCE itu sendiri.

Satu persatu gerai OK OCE Mart mulai bermunculan di Ibu Kota. Kemunculan OK OCE Mart pertama kali ada di Jalan Cikajang, Jakarta Selatan. Bersebelahan dengan kantor pengusaha Alex Asmasoebrata, sekaligus salah satu bos OK OCE.

Namun sayang, ibarat kembang yang layu sebelum berkembang, minimarket OK OCE yang belum seumur jagung justru memasuki masa suram. Beberapa gerai ditutup, seperti OK OCE Mart di Jalan Warung Jati Barat, Kalibata, Jakarta Selatan.

Sandi berkilah OK OCE Mart di Kalibata bukan tutup, melainkan pindah tempat karena harga sewa yang mahal. Sedangkan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menganggap wajar bila ada gerai OK OCE Mart yang tutup karena program tersebut baru berjalan.

“Usaha online juga banyak yang tutup dan banyak yang buka. Usaha ya, usaha saja, mengikuti nature bisnis,” kata dia.

Tutupnya beberapa gerai OK OCE Mart tak ditampik Perkumpulan Gerakan OK OCE (PGO). Mereka menyebutkan tengah mencari cara untuk menjaga eksistensi usaha dengan merek ini. Pembenahan, dengan mengedukasi para anggota OK OCE Mart tentang pengelolaan bisnis ritel, itu satu cara yang dipilih.

“Kami rengkuh Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pasar Jaya untuk memberikan edukasi manajemen ritel,” kata Ketua Umum Perkumpulan Gerakan OK OCE (PGO) Faransyah Jaya kepada Validnews, Rabu (12/12).

Dua hal yang disasar PGO dengan kerja sama ini. Yakni, agar suplai barang ke tiap gerai berjalan dengan baik, lalu mendapatkan konsep manajemen ritel yang matang dari Pasar Jaya.

“Alasannya, dari segi keahlian manajemen tidak ada. Dari segi koneksi juga kita belum punya. Artinya, saat itu kita tidak memiliki pemahaman soal bisnis ritel,” kata Faransyah.

Alasan lainnya, saat menjalankan bisnis ini, Faransyah menyadari bahwa bisnis ritel modern harus bersaing dengan usaha sejenis. Seperti bersaing dengan pemain lama yakni Indomaret maupun Alfamart. Juga pemain minimarket lain yang dibentuk oleh perusahaan ritel besar, seperti Yomart dan Ceriamart.

Bukan Tujuan Utama

Faransyah mengungkapkan, konsep awal program OK OCE bukanlah membuka OK OCE Mart. Tujuan awal program ini adalah membina keahlian para anggotanya dalam bidang usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Tiap individu dibina untuk bisa menghasilkan produk.

Namun, produk yang dihasilkan tetap butuh sarana pemasaran. Makanya, mereka sepakat untuk membuka OK OCE Mart. Ritel inilah yang akan menampung seluruh produk hasil dari pelatihan itu. Oleh sebab itu, OK OCE Mart didirikan karena memiliki lebih dari 60.000 anggota.

“Nah, karena tidak paham di awal, dan ada tempat orang mengajukan, kami buat minimarket. Dua tempat yang tutup ini memang karena kontraknya habis,” lanjut Faransyah.

Dia melanjutkan, setelah belajar dengan Pasar Jaya, PGO mengganti nama OK OCE Mart menjadi Gerai OK OCE. Setiap gerai yang dioperasikan, PGO bekerja sama dengan Pasar Jaya. Tapi, tetap ada para relawan Anies-Sandi menjalankan OK OCE Mart.

Menurut Faransyah, sejauh ini setelah berganti nama menjadi Gerai OK OCE, mereka telah memiliki 14 toko. Pengelolaan belasan toko ini dibantu oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Menurut Faransyah, tiap gerai yang dibuka, modal yang dibenamkan akan cepat balik, tak perlu menunggu bertahun-tahun. Hanya butuh waktu antara 9 hingga 18 bulan saja.

Waktu balik modal yang singkat itu, lanjut Faransyah, tergantung berapa jumlah pengunjung per hari. Ditambah luas gerai. Minimal gerai seluas 75 meter persegi sampai 200 meter persegi.

“Itu semua ada perhitungannya dan berbeda-beda waktu balik modalnya,” tambah Faransyah.

Dia melanjutkan, omzet rata-rata minimarket OK OCE Mart kini mencapai Rp1 juta hingga Rp3 juta per hari. Omzet tertinggi rata-rata OK OCE Mart, baik mart maupun gerai adalah Rp3 juta. Angka tertinggi ini diperoleh oleh Gerai Cikajang, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Sementara, omzet terendah dari rata-rata OK OCE Mart adalah Rp1 juta. Namun, angka tersebut diambil dari rata-rata seluruh gerai yang ada. Dia pun memperkirakan untuk yang di Kalibata beromzet Rp1 juta per hari.

Hanya saja, dengan omzet sejuta hingga Rp3 juta, OK OCE Mart yang berada di Kalibata tetap sulit untuk bertahan. Sebab, omzet tersebut tak dapat menutup biaya sewa. Beda halnya dengan OK OCE Mart yang berupa gerai, biasanya dia berdiri di lahan sendiri sehingga tidak kena biaya sewa.

“Karena kalau nyewa memang omzet mereka kan rata-rata Rp1 hingga Rp3 juta sehari, dengan asumsi untungnya 10–15% memang rada mepet sampai buat keluarin biaya sewa,” lanjut Faransyah.

Tak hanya OK OCE Mart dan Gerai OK OCE saja bisnis ritel modern yang lahir dari perkumpulan. Hal serupa terjadi pada gerai 212 Mart. Bisnis ritel skala kecil ini muncul setelah aksi 212 pada 2016 silam di Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat.

General Manajer Unit Pengembangan Bisnis Retail Koperasi Syariah 212, Han Anwar mengatakan, terbentuknya 212 Mart berawal dari Aksi Bela Islam yang terjadi pada 2 Desember 2016 lalu. Setelah gerakan itu, para ulama sepakat agar gerakan ini terus dikawal supaya tidak langsung dilupakan begitu saja bagi jemaah yang hadir.

“Awalnya koperasi, kami beri nama Koperasi 212. Nah, yang namanya koperasi harus ada usahanya, dibuatlah minimarket yaitu 212 Mart,” kata pria yang akrab disapa Han-han kepada Validnews, Rabu (12/12).

Han-han mengaku modal awal membangun 212 Mart ini adalah dari hasil patungan umat Islam. Dana patungan tersebut lalu dipakai membangun minimarket di suatu tempat. Sejak pertama berdiri hingga saat ini, 212 Mart sudah ada sekitar 207 outlet yang tersebar di 16 provinsi.

Han-han juga menjelaskan tentang konsep dan bentuk kerja sama 212 Mart. Untuk mendirikan 212 Mart diperlukan setidaknya 100 anggota koperasi dari komunitas Koperasi Syariah 212 di suatu wilayah. Nantinya anggota koperasi akan menjadi pemilik sekaligus pembeli loyal bagi 212 Mart yang didirikan.

“Jadi tidak ada yang dimiliki oleh pribadi. Semuanya itu dimiliki oleh jemaah,” lanjutnya.

Bentuk koperasi dipilih agar nantinya minimarket dimiliki oleh banyak anggota. Selain menjadi peritel, konsep 212 Mart untuk mendukung toko atau warung di sekitar lokasi untuk diberikan harga khusus dengan jumlah pembelian minimal tertentu.

“Konsepnya adalah jamah yang mendirikan minimarket mereka juga sebagai konsumen. Mereka sebagai pemilik mereka pembeli,” ucap Han-han.

Dikatakannya, 212 Mart yang menawarkan belanja halal diharapkan layak secara bisnis dan berkah bagi lingkungan sekitar. Selain keuntungan yang bisa dinikmati anggota koperasi dalam bentuk pembagian hasil usaha, 212 Mart juga memberikan zakat, infak, dan sedekah bagi masyarakat duafa sekitar.

“Kalau keuntungan itu dibagi-bagi saja. Berapa nilai investasi nya,” lanjutnya.

Dalam sehari omzet yang diperoleh 212 Mart bisa mencapai Rp4 juta hingga Rp15 juta rupiah. Tapi sayangnya beberapa hari belakangan, omzet penjualan menurun hal itu dikarenakan banyaknya pengelola outlet yang tidak konsisten menerapkan cara yang sudah diajarkan sebelumnya.

“Memang ada beberapa outlet yang mengalami kerugian. Tapi ini merupakan satu pembelajaran juga kepada investor bahwa bagaimana bisnis ini bertahan dia harus belanja. Itu tidak ada pilihan,” jelasnya.

Untuk suplai barang, Han-han mengatakan bisa didapat dari sebuah perusahaan ritel yang sudah bekerja sama dengan koperasi 212 Mart. Namun demikian, sampai saat ini belum ada investor yang berani menjamin pasokan barang yang akan dijual.

“Investor hanya memberikan pengalaman mengelola bisnis saja,” tegasnya.

Pemain Besar
Perkembangan bisnis ritel juga dirasakan pemain besar, seperti PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (Alfamart) dan PT Indomarco Prismatama (Indomaret). Kedua perseroan terus mengembangkan bisnis ritel ini baik dari jumlah gerai maupun keuntungan yang diperoleh.

Pada 2018 ini Alfamart berencana membuka 800 toko baru. Rinciannya, 150 toko waralaba dan 650 toko regional. Target ini lebih rendah dibanding 2017 lalu yang berjumlah 1.011 toko baru. Gerai baru di beberapa wilayah Indonesia utamanya Pulau Jawa dan Timur Indonesia. Padahal, di tahun 2017 lalu, Alfamart telah memiliki 13.477 unit.

Bisa saja, gerai baru Alfamart ini berdiri sesuai target. Sebab, untuk mendirikan toko waralaba Alfamart sangatlah mudah. Ketentuannya adalah para mitra berkewarganegaraan Indonesia, memiliki badan usaha, sudah atau akan memiliki lokasi usaha, memenuhi persyaratan perizinan, dan bersedia mengikuti sistem dan prosedur yang berlaku di Alfamart.

Corporate Affairs Director Alfamart, Solihin mengatakan, masyarakat yang ingin bermitra dengan Alfamart harus setor Rp300–Rp500 juta. Dana tersebut belum termasuk lahan yang nantinya akan dijadikan gerai Alfamart.

Besaran investasi ini telah mencakup biaya waralaba fee senilai Rp45 juta selama lima tahun, instalasi listrik, peralatan gerai, AC, komputer kasir, Shop Sign, dan Sign Polre, perijinan gerai, sistem informasi ritel, serta promosi dan persiapan pembukaan gerai.

Setelah gerai beroperasi, Alfamart akan mengenakan biaya royalti kepada para pewaralaba. Royalti yang dibayarkan ke Alfamart dihitung secara progresif, tergantung dari jumlah penjualan bersih bulanan toko yang bersangkutan dan belum termasuk pajak.

“Royalti tiap bulan, ada persentasenya. Omzetnya Rp0–150 juta. Kalau omzetnya cuma Rp150 juta sebulan enggak usah bayar (royalti),” kata Solihin saat memaparkan kinerja perusahaan pertengahan 2018.

Bila penghasilan dalam satu bulannya hingga Rp175 juta, akan dikenalan royalti sebesar 1%. Kemudian, jika omzetnya Rp175 juta sampai Rp200 juta akan dikenai royalti 2%. Selanjutnya, jika penghasilan bersih Rp200 sampai Rp250 juta akan dikenakan royalti 3%. Terakhir, jika penghasilan diatas Rp250 juta akan dikenakan royalti 4%.

Indomaret pun terus mengembangkan toko miliknya. Dilansir dari indomaret.co.id, hingga November 2018, Indomaret memiliki 15.892 gerai. Target penambahan gerai pada tahun ini saja 1.000 dan baru terealisasi 60% Indomaret. Sisanya, merupakan gerai yang berdiri karena bermitra dengan masyarakat.

Tiap gerai menyediakan lebih dari 5.000 produk makanan, non makanan, general merchandise dan fresh product dengan harga murah. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan para konsumen.

Sama dengan Alfamart. Untuk bermitra dengan Indomaret, para pengusaha harus memenuhi beberapa syarat. Di antaranya, berwarga negara Indonesia. Menyediakan lokasi tempat usaha di area komersial dengan luas ideal 120–299 meter persegi. Memiliki kelengkapan perizinan toko.

Hal terpenting yakni, calon mitra menyediakan dana investasi dengan nilai Rp394 juta dan fresh product dengan harga murah. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan para konsumen.

Tidak Mudah
Terpisah, Wakil Ketua Umum Aprindo Tutum Rahanta menuturkan, seluruh masyarakat berpeluang untuk berkecimpung di dunia ritel. Asalkan dapat memenuhi hukum dagang. Misalnya, seluruh kebutuhan konsumen dapat terpenuhi.

“Konsumen menginginkan harga dan kualitas yang terbaik,” tutur Tutum.

Memang, kata dia, menjalankan bisnis ritel bukanlah hal yang mudah. Apalagi, ritel skala kecil. Sebab, barang dagangan yang dijual sama dengan toko waralaba besar lainnya. Karena, tiap toko menjual barang yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari.

“Kecuali barang yang dijual istimewa, jadi bisa mengatur harga sendiri,” lanjutnya.

Dia mencontohkan, beberapa pendatang baru di dunia ritel seperti Mart atau Gerai tak bertahan lama. Buktinya, beberapa gerai OK OCE Mart tutup. Untuk memastikan penyebabnya, pihak manajemen perlu melakukan evaluasi secara mendalam.

Bisa saja, penyebab tutupnya gerai OK OCE Mart itu disebabkan oleh hukum dagang yang mereka jalani tidak benar. Koreksi ini juga untuk mengetahui apakah kontinuitas produk, harga, pelayanannya berjalan dengan baik.

“Siapapun orang yang datang misalnya ke Alfamart dan Indomaret karena yang menjual harganya konsisten baik dan dekat dari jangkauan,” ucap dia.

Terpisah, Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih menilai, lambannya waralaba kecil berkembang dikarenakan bisnis ritel memerlukan modal yang sangat besar. Dia menyebutkan, biaya yang sangat besar diperlukan untuk pengeluaran biaya tetap seperti listrik, dan pegawai.

“Tidak bisa diabaikan kompetisi itu membutuhkan modal,” kata Lana saat dihubungi melalui telepon selulernya, Kamis (13/12).

Selain itu, kata dia, masyarakat memiliki pandangan yang berbeda saat hendak membeli barang. Umumnya, pembeli lebih tertarik kepada tempat belanja yang penuh dengan barang dagangan. Misalnya, toko waralaba Alfamart ataupun Indomaret.

Prevelensi masyarakat ini, jelas dia, memberikan keuntungan kepada waralaba besar. Karena itu bisnis ritel yang dijalankan oleh Indomaret dan Alfamart dapat tumbuh dengan cepat. Hal ini menjadi hal yang tak mudah bagi waralaba kecil.

“Waralaba kecil barangnya pasti tidak sebanyak waralaba besar. Luas toko membatasi pengusaha waralaba kecil untuk menaruh variasi barang,” jelas dia.

Hal lain yang diamati oleh Lana adalah persoalan kerja sama. Menurutnya waralaba besar telah menjalani kerja sama dengan pabrik induk makanan. Misalnya, Indomaret dengan Indofood yang membuat harga barangnya lebih murah.

“Perang harga ini tidak bisa dimungkiri. Jadinya, minimarket yang memiliki relasi dengan pabrik-pabrik penyuplai barang itu menjadi penting,” lanjutnya.

Sebenarnya, kata dia, pemerintah bisa saja membuat persaingan usaha ini menjadi sehat. Caranya, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan khusus. Bila tidak, waralaba kecil akan tetap kalah bersaing dengan ritel besar.

“Kalau dianggap kompetisi berarti non-minimarket dan berbagai nama waralaba kecil akan tergerus dan gulung tikar,” tegasnya.

Sedangkan Peneliti Ekonomi Universitas Indonesia, Andi Fahmi mengingatkan secara umum perkembangan bisnis ritel Indonesia memang naik dan turun. Dia menyoroti mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih berada di kisaran 5%.

“Di mana pertumbuhan konsumsi rumah tangannya yang menjadi indikator daya beli dari target ritel itu masih naik turun,” tandas dia. (James Manullang, Benny Silalahi)

ARSIP
Scroll to Top